Dinamika Transformasi Desa di Jawa: Dari Developmentalisme ke Kewirausahaan

Desa-desa di Jawa telah lama menjadi fokus perhatian para akademisi, khususnya dalam kajian antropologi. Sejak dekade 1950-an, berbagai wacana menggambarkan desa sebagai entitas yang stagnan—tertutup terhadap perubahan, miskin inovasi, dan hidup dalam struktur sosial yang nyaris tak berubah. Namun, persepsi ini mengalami pergeseran signifikan seiring perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi selama lebih dari satu setengah abad terakhir.

Pada masa Orde Baru, negara memainkan peran sentral dalam membentuk arah pembangunan pedesaan. Melalui paradigma developmentalisme, pemerintah melakukan depolitisasi desa demi stabilitas nasional, sekaligus mengimplementasikan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Program-program seperti subsidi benih unggul, pupuk kimia, hingga pembangunan infrastruktur irigasi menjadi instrumen utama untuk menciptakan desa yang produktif dan terkontrol. Negara menjadi aktor utama yang menentukan narasi kemajuan desa.

Namun, dinamika berubah pasca reformasi 1998. Negara yang sebelumnya dominan mulai berbagi peran dengan pasar. Kebijakan neoliberal membuka ruang bagi otonomi desa dan mendorong transformasi kelembagaan dari struktur yang tersentralisasi ke arah yang lebih desentralistik. Dalam konteks ini, masyarakat desa tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, melainkan juga subjek yang aktif merespons dan membentuk masa depannya sendiri.

Salah satu perubahan paling mencolok adalah menguatnya semangat kewirausahaan di tingkat lokal. Nilai-nilai seperti kemandirian, kompetisi, dan kreativitas mulai terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat desa. Warga desa melihat bahwa kemakmuran bukan lagi semata hasil dari campur tangan negara, tetapi juga bisa diraih melalui inisiatif dan usaha mandiri. Lanskap sosial ekonomi pun bertransformasi: dari yang sebelumnya bergantung pada birokrasi negara, menuju dinamika pasar yang lebih cair dan fleksibel.

Perubahan ini tidak bisa dipandang sebagai fenomena sesaat. Melalui pendekatan diakronis, kita dapat memahami bahwa transformasi desa merupakan hasil dari proses historis yang kompleks, melibatkan interaksi antara kebijakan negara, kekuatan pasar, dan aspirasi masyarakat lokal. Dalam konteks ini, kajian antropologi perdesaan menawarkan lensa penting untuk melihat bagaimana masyarakat desa menavigasi perubahan tersebut, membentuk kembali identitas mereka, serta menata ulang struktur sosial dan ekonomi di tengah dunia yang terus berubah.

Pelajari mengenai kehidupan desa dengan kelas di UGM Online Antropologi Pedesaan

Instruktur :

Dr. Agung Wicaksono, S.Ant., M.A. adalah dosen dan peneliti di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki kepakaran dalam bidang antropologi, studi kawasan (area studies), ekonomi politik, penghidupan perdesaan, dan perubahan agraria. Karya-karyanya mencerminkan minat yang mendalam terhadap dinamika sosial di pedesaan Jawa pasca Reformasi, khususnya terkait dengan ekspansi kelas menengah dan transformasi sistem penghidupan masyarakat desa.

Salah satu publikasi pentingnya, Post-1998 Changes in Rural Java: The Rapid Expansion of the Middle Class (2020), mengkaji perubahan struktur sosial di pedesaan Jawa pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ia juga menyoroti aspek teknis dan kontestasi ruang dalam risetnya tentang participatory mapping di komunitas Karen di dataran tinggi Thailand, yang dipublikasikan di BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan (2022). Kolaborasi internasionalnya terlihat dalam keterlibatannya dalam penelitian lintas disiplin menggunakan citra satelit, yang dipublikasikan dalam Scientific Reports(2023) dan telah banyak dikutip oleh akademisi lain.