Gas rumah kaca memegang peran kunci dalam pemanasan global dan perubahan iklim. Artikel ini membahas prinsip efek rumah kaca, gas utama penyebabnya, siklus karbon, serta studi kasus emisi GRK Indonesia.
Efek Rumah Kaca: Definisi dan Prinsip
Efek rumah kaca adalah proses pemanasan alami yang terjadi ketika gas-gas tertentu di atmosfer memerangkap panas dari radiasi inframerah yang dipancarkan permukaan Bumi. Sinar Matahari berenergi tinggi menembus atmosfer dan menghangatkan permukaan Bumi. Permukaan yang hangat kemudian memancarkan kembali energi sebagai radiasi inframerah. Gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dinitrogen oksida (N₂O), dan uap air menyerap radiasi ini dan memancarkannya ulang, sebagian kembali ke permukaan, sehingga mencegah panas lepas ke angkasa. Efek rumah kaca alami membuat Bumi 33°C lebih hangat daripada jika atmosfer tidak mengandung GRK. Namun, peningkatan konsentrasi GRK akibat aktivitas manusia menyebabkan lebih banyak panas terperangkap, memicu pemanasan global.
Secara ilmiah, molekul GRK memiliki struktur yang mampu menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang tertentu. Setelah menyerap energi, molekul tersebut memancarkannya ulang ke segala arah. Gas-gas ini transparan terhadap sinar Matahari, tetapi menyerap inframerah yang dipancarkan Bumi. Akibatnya, panas terperangkap dalam sistem iklim.
Gas Rumah Kaca Utama dan Karakteristiknya
Karbon Dioksida (CO₂)
CO₂ dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan proses industri. Konsentrasi CO₂ saat ini sekitar 420 ppm, meningkat 51% dari era pra-industri. CO₂ memiliki usia tinggal panjang di atmosfer; sebagian bertahan ribuan tahun. Meskipun GWP-nya 1 (acuan), CO₂ memiliki dampak terbesar karena volumenya sangat besar.
Metana (CH₄)
Metana dihasilkan dari pertanian (ternak, sawah), pengelolaan limbah, dan kebocoran gas fosil. Konsentrasi CH₄ mencapai 1,93 ppm, meningkat 265% sejak 1750. Dengan usia tinggal ~12 tahun, CH₄ memiliki GWP sekitar 28 kali CO₂ per 100 tahun, menyumbang sekitar 30% pemanasan global saat ini.
Dinitrogen Oksida (N₂O)
N₂O dihasilkan dari penggunaan pupuk nitrogen di pertanian, peternakan, dan proses industri. Konsentrasinya 337 ppb, dengan GWP 265 kali CO₂ dan usia tinggal ~121 tahun.
HFC, PFC, dan SF₆
Gas-gas sintetis ini berasal dari industri refrigerasi, elektronik, dan energi. Mereka memiliki GWP yang sangat tinggi (ribuan hingga puluhan ribu kali CO₂) dan usia tinggal yang panjang di atmosfer, meski konsentrasinya masih rendah.
Siklus Karbon dan Emisi CO₂
Siklus karbon alami menjaga keseimbangan CO₂ di atmosfer melalui proses fotosintesis, respirasi, dan pertukaran dengan lautan. Namun, sejak revolusi industri, pembakaran fosil dan deforestasi mengganggu keseimbangan ini. Emisi CO₂ global telah menyebabkan konsentrasi atmosfer melonjak dari 280 ppm (pra-industri) ke lebih dari 420 ppm saat ini. Lautan dan hutan masih menyerap sekitar 55% emisi tahunan, tetapi ada kekhawatiran bahwa kemampuan ini akan melemah seiring pemanasan global.
Kenaikan CO₂ memperkuat efek rumah kaca, mendorong pemanasan global, dan menyebabkan dampak tambahan seperti pengasaman laut. Oleh karena itu, pengurangan emisi CO₂ menjadi fokus utama mitigasi perubahan iklim.
Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi GRK diukur dalam satuan ton atau gigaton CO₂-ekuivalen (CO₂e), yang menggabungkan berbagai gas berdasarkan GWP-nya. Saat ini, emisi GRK global sekitar 50 miliar ton CO₂e per tahun, dengan 73% berasal dari sektor energi. Inventarisasi emisi nasional dilakukan berdasarkan pedoman IPCC dan dilaporkan ke UNFCCC. Data ini digunakan untuk memantau kemajuan terhadap target iklim global seperti Perjanjian Paris.
Teknologi pengukuran berkembang, termasuk pengamatan satelit, untuk meningkatkan akurasi dan transparansi pelaporan emisi.
Studi Kasus: Emisi GRK Indonesia
Indonesia adalah salah satu emiter GRK terbesar dunia, dengan profil unik. Sekitar setengah emisi historis berasal dari deforestasi dan degradasi lahan gambut. Pada tahun 2015, emisi dari kebakaran lahan gambut melonjak drastis. Berkat kebijakan moratorium hutan dan restorasi gambut, emisi dari LULUCF kini menurun.
Di sisi lain, emisi sektor energi dan transportasi meningkat pesat seiring pertumbuhan ekonomi. Pada 2019, sektor energi menyumbang 65% emisi non-LULUCF. Sektor limbah dan pertanian juga berkontribusi signifikan. Untuk mencapai target NDC, Indonesia perlu mempercepat transisi energi terbarukan dan memperkuat pengelolaan lahan berkelanjutan.
Gas rumah kaca memainkan peran sentral dalam perubahan iklim. Pemahaman tentang efek rumah kaca, karakteristik tiap gas, dan sumber emisi sangat penting untuk merancang strategi mitigasi yang efektif. Untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C, dunia harus menurunkan emisi GRK dengan cepat. Bagi Indonesia, ini berarti mengurangi emisi energi, melindungi hutan, dan mengelola lahan dengan berkelanjutan. Upaya global dalam mengendalikan emisi GRK akan menentukan masa depan iklim bagi generasi mendatang.
Pelajari mengenai perubahan iklim dan bagaimana upaya menanganinya melalui kelas di UGM Online Climate Change (1): Konsep Dasar Perubahan Iklim
Instruktur :
Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU, ASEAN Eng. adalah dosen dan peneliti senior di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, dengan kepakaran di bidang ilmu kehutanan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta konservasi sumber daya hutan. Selama lebih dari dua dekade, beliau aktif mengembangkan berbagai kajian dan proyek ilmiah yang berfokus pada mitigasi bencana hidrometeorologis, manajemen sumber daya air, serta dampak perubahan tutupan lahan terhadap risiko lingkungan. Keilmuan beliau sangat relevan dalam menjawab tantangan perubahan iklim, terutama yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem dan pengelolaan lanskap berkelanjutan.
Dr. Hatma aktif mengembangkan berbagai riset terapan terkait respons hidrologi dan konservasi DAS, sekaligus memimpin berbagai kajian tentang strategi pengurangan risiko bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang terkait erat dengan perubahan iklim. Ia juga secara intensif terlibat dalam implementasi praktik Climate Smart Village (CSV) bersama kelompok masyarakat rentan, mendukung ketahanan pangan serta memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat menghadapi tantangan perubahan iklim. Komitmen terhadap pengabdian masyarakat, transfer pengetahuan dan penerapan teknologi tepat guna menjadi kegiatan rutin yang sering dilakukan bersama tim kerjanya di tingkat lokal maupun nasional.
Referensi
Buis, A. (2019). The Atmosphere: Getting a Handle on Carbon Dioxide. NASA Science.
Climate Action Tracker. (2023). Indonesia: Country Summary.
Dunne, D. (2019). The Carbon Brief Profile: Indonesia. Carbon Brief.
Greenhouse Gas Protocol. (2016). Global Warming Potential Values.
IEA. (2022). Methane and Climate Change. International Energy Agency.
IPCC. (2019). IPCC Updates Methodology for Greenhouse Gas Inventories.
MIT Climate Portal. (2021). How do Greenhouse Gases Trap Heat in the Atmosphere?
National Grid. (2020). What is SF₆? Sulphur Hexafluoride Explained.
Ritchie, H. (2020). Sector by Sector: Where Do Global Greenhouse Gas Emissions Come From? Our World in Data.
Ritchie, H., Rosado, P., & Roser, M. (2020). Greenhouse Gas Emissions. Our World in Data.
Schwingshackl, C., Obermeier, W. A., & Pongratz, J. (2023). How Land Use Drives CO₂ Emissions Around the World.Carbon Brief.
Understanding Global Change. (n.d.). Greenhouse Effect. UC Museum of Paleontology.
World Meteorological Organization. (2023). Greenhouse Gas Concentrations Surge Again to New Record.